Pemetik Sunyi
Menceritakan tentang tokoh “Aku” tengah
berpikir betapa hidup telah menjadi begitu hampa dan sia-sia untuk
dipertahankan ketika ia menyaksikan setangkai sunyi yang indah tumbuh di
halaman rumahnya. Ia bertanya, benarkah masih ada keindahan yang menakjubkan di
tengah dunia yang telah berubah menjadi tempat pembantaian?
Kini dihadapannya telah tumbuh setangkai sunyi yang begitu cemerlang,basah dan murni. Ia menggangap bahwa setangkai sunyi tersebut memancarkan keredupan yang menentramkan hati.Segala yang ia pandang seperti menjelma bentangan luas yang serba lembut dan segar.
Di langit yang bersih seperti hamparan kenangan yang menentramkan,ia menyaksikan dunia yang selama ini hanya ada dalam harapannya. Ia memejamkan matanya menyadari bahwa itu bukan dunianya,dunia yang begitu menyedihkan. Ia menemukan dirinya termangu di beranda,seperti luluh di bawah cahaya pucat rembulan. Bayangan menyedihkan kembali melintas dipikirannya,bayangan mengenai istri dan anak-anaknya.
Kini dihadapannya telah tumbuh setangkai sunyi yang begitu cemerlang,basah dan murni. Ia menggangap bahwa setangkai sunyi tersebut memancarkan keredupan yang menentramkan hati.Segala yang ia pandang seperti menjelma bentangan luas yang serba lembut dan segar.
Di langit yang bersih seperti hamparan kenangan yang menentramkan,ia menyaksikan dunia yang selama ini hanya ada dalam harapannya. Ia memejamkan matanya menyadari bahwa itu bukan dunianya,dunia yang begitu menyedihkan. Ia menemukan dirinya termangu di beranda,seperti luluh di bawah cahaya pucat rembulan. Bayangan menyedihkan kembali melintas dipikirannya,bayangan mengenai istri dan anak-anaknya.
Ia baru saja pulang menjelang tengah malam
dengan keletihan.Ia membayangkan istrinya,Asih, yang bermata lembut membukakan
pintu untuknya dan segera menyiapkan secangkir kopi hangat untuk meneduhkan
penatnya. Anak-anaknya mungkin masih ada yang tengah belajar atau mungkin
mereka malah masih nonton televisi, atau mungkin mereka sudah tertidur di kursi
ruang keluarga,sementara televise masih saja menyala. Asih,barangkali juga
terkantuk menunggu kepulangannya. Asih selalu ingin membukakan pintu untuknya.
Bayangannya yang begitu hangat dan menyenangkan tersebut lagi-lagi
menyelimutinya.
Tapi malam itu,ia menemukan rumahnya begitu ganjil. Pintu setengah terbuka,dan darah berceceran di lantai. Perabotan terguling berantakkan. Asih tertelungkup dengan kepala pecah.Anak-anaknya Ida,Renaldi,Inan,dan Betita, terkapar dengan mata terbelalak. Seakan ketakutan masih lekat di kelopak mata mereka. Ia bertanya, benarkah semua itu sungguh-sungguh nyata? Benarkah darah,kekerasan dan pembantaian tidak cuma terjadi di televisi?
Tapi malam itu,ia menemukan rumahnya begitu ganjil. Pintu setengah terbuka,dan darah berceceran di lantai. Perabotan terguling berantakkan. Asih tertelungkup dengan kepala pecah.Anak-anaknya Ida,Renaldi,Inan,dan Betita, terkapar dengan mata terbelalak. Seakan ketakutan masih lekat di kelopak mata mereka. Ia bertanya, benarkah semua itu sungguh-sungguh nyata? Benarkah darah,kekerasan dan pembantaian tidak cuma terjadi di televisi?
Semua berita di koran-koran ternyata tidak
mengada-ada. Perampokam terjadi di mana-mana. Pembunuhan setiap saat terjadi di
mana-mana. Dulu tiada hari tanpa olah raga,kini tiada hari tanpa pembunuhan.
Dunia telah menjadi penuh kisah kekejaman. Kini ia merasakan,betapa bukan
kematian benar yang menakutkan,tetapi cara bagaimana matilah yang membuat
ngeri. Cara istri dan anak-anaknya mati,selalu membuatnya bertanya,benarkah ini
dunia yang diinginkan Tuhan ketika menciptakannya?
Ia masih terpaku di beranda,menyaksikan
setangkai sunyi tumbuh mekar dan semakin mengesankan. Ia melhat setangkai sunyi
tersebut bergoyang-goyang dijentikkan angin seperti da suasana gaib yang
ditimbulkan setangkai sunyi tersebut.Seperti ada kesedihan yang diuntai jadi
bunga keindahan,atau semacam kesyahduan dan kerelaan yang tulus dalam duka tak
berkesudahan.
Ia termangu dengan secangkir kopi yang telah dingin sembari memandangi setangkai sunyi ketika ia mendengar teriakan riang memanggilnya dari dalam rumah.Suara itu penh dengan pengertian,suara lembut Asih,istrinya yang bagai selalu menawarkan kelembutan yang membuatnya ingin selalu berada di dekat Asih.Suara tersebut masih aja ada di dalam ingatannya,sampai iya yakin bahwa Asih masih tetap hidup.
Ia termangu dengan secangkir kopi yang telah dingin sembari memandangi setangkai sunyi ketika ia mendengar teriakan riang memanggilnya dari dalam rumah.Suara itu penh dengan pengertian,suara lembut Asih,istrinya yang bagai selalu menawarkan kelembutan yang membuatnya ingin selalu berada di dekat Asih.Suara tersebut masih aja ada di dalam ingatannya,sampai iya yakin bahwa Asih masih tetap hidup.
Ia masih mendengar suara pertengkaran Ida
dan Renaldi memperebutkan lauk-pauk saat makan malam. Ia masih mendengar derai
tawa mereka yang renyah ketika menonton televisi. Suara Inan bermain
piano,Betita yang merengek ingin dikelonin.Ia masih mendengar Asih menyuruh Ida
untuk belajar dan ia ingat mata si bungsu yang menatap manja.Ia mendengar
langkah Betita,ia merasakan Betita degan hati-hati mendekatiku,ia menengok ke
arah pintu namun tak ada siapa-siapa. Ia merasa bahwa Betita mungkin malu dan
bersembunyi di balik pintu.
Ia selalu merasa semuanya ada dan
nyata,sebagaimana setiap kali ia bangun pagi dengn malas karena tidak tahu apa
yang harus ia lakukan dengan hidup yang semakin hampa dan membosankan. Ia
mencoba meyakinkan betapa segalanya masih seperti semula.Ia merasa anak-anak
dan istrinya tak pernah mati dengan cara megerikan seperti yang telah ia
saksikan.
Siapa yang dapat menghapus kenangan? Ia
merasa bahwa anak-anak dan istrinya tetap berkeliaran di rumah, itu lebih baik
menurutnya,dari pada mereka bermain-main di luar rumah. Ia berpikir bahwa
anak-anak dan istrinya bias saja sewaktu-waktu mati dengan cara mengerikan
untuk yang kedua kalinya.
Lalu ia bangkit,dan menyempatkan memetik setangkai sunyi yang tumbuh dalam rimbun kesepiannya. Ia ingin memberikan setangkai sunyi tersebut pada istrinya.
Setiap pagi ia selalu menyaksikan setangkai sunyi itu berbunga,dan setiap kali pula ia masih merasakan keperihan kesepian.
Lalu ia bangkit,dan menyempatkan memetik setangkai sunyi yang tumbuh dalam rimbun kesepiannya. Ia ingin memberikan setangkai sunyi tersebut pada istrinya.
Setiap pagi ia selalu menyaksikan setangkai sunyi itu berbunga,dan setiap kali pula ia masih merasakan keperihan kesepian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar